Seperti rembulan tidur di garis cakrawala, kerlip bintang saling silang di sela awan. Pantulannya membiru di bola matamu, meniupkan getaran cinta di langit hatiku.
Duhai yang manja dan selalu ku puja, wahai yang ku puja dan pasti ku damba !Sebab cinta aku ada, untuk cinta aku ada, untuk cinta aku terdampar di tanah kuburan. Irama langkahmu yang binal tak seperti singa liar melainkan langkah wibawa sang ratu yang menuruni tangga-tangga kerajaan. Aku ingin menjadi budakmu. Aku rela kau pajang sebagai lukisan, meskipun coretan-coretan rambut yang menari di dahiku kau pangkas dengan gemulai jemarimu.
Bukan sebuah gugatan akan murninya cintamu, tapi, haruskah aku yang terus mengalah ? Aku tak sesumbar bahwa kau egois karena jiwamu terbungkus sosialis. Ini bukan sajak keluhan, juga bukan soal-soal puisi yang harus kau jawab. Ini mulutku yang mengeluarkan bau busuk jika kau mampu menciumnya.
Aku mengalah karena memang aku kalah. Tapi aku mohon, berikanlah cahayamu Rembulanku...! karena di saat siang hari aku tak mau melihat matahari-matahari itu menari di atas pelupuk mataku. Aku tak bisa membiarkan gelombang cintaku menyapu sejangkung mendung, karena aku tak mau tenggelam dalam badai yang mengamuk linglung. Inilah aku yang hidup bernafaskan cinta. Berpisah denganmu, berarti aku berhenti bernafas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang Anda Baca Belum Seutuhnya Semperna