Minggu, 26 April 2009

Pragmatisme Dan Dagelan Politik




Pragmatisme menjadi isu yang menarik dalam pemilu legislatif 9 April lalu. Apalagi sikap tersebut dilakukan hanya untuk meraih kekuasaan atau suara dalam parlemen. Pilihannya hanya dua, suara terdongkrak atau merosot turun.
Bisikan untuk meraih kekuasaan sangatlah besar. Hasrat untuk berkuasa menjadi pendorong utama para politikus untuk berkompetisi. Semangat untuk menaikkan strata sosial yang diukur melaui harta begitu kuat. Sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa korupsi sangat amat sulit di berantas di negeri ini.

Atmosfer panasnya Pemilu juga menyelubungi tiap atap instansi-instansi independen seperti instansi pendidikan, khususnya kampus/perguruan tinggi. Beberapa mahasiswa yang belum kelar mengurus study-nya, malahan mencoba mengurus rakyat dengan mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Tak jarang juga, banyak mahasiswa yang memiliki posisi penting di lingkungan organisasi kampus memanfaatkan moment Pemilu kali ini dengan cara menjalankan kontrak politik. Mereka (Mahasiswa dan Caleg) membuat kesepakatan; jika mau berkampanye atas nama Caleg yang bersangkutan dan nanti menang, maka si Caleg akan memberikan sebuah gedung sekretariat atau imbalan lain yang sepantasnya. Bukan cuma mahasiswa saja yang melibatkan diri dalam politik praktis, para pengajar (dosen) di kampus/perguruan tinggi pun juga ikut melibatkan diri. Di Universitas Khairun, ada seorang dosen yang melakukan kampanye di dalam kelas, disela-sela proses belajar-mengajar dengan cara membagikan foto caleg yang didukungnya kepada para mahasiswa!!!.

Kuntowijoyo ”menggambarkan” kondisi perpolitikan negeri ini dalam novelnya Mantra Penjinak Ular (Penerbit Kompas: 2000). Kebenaran-kebenaran fiksional tentang politik yang ditampilkan dalam novel ini terasa hangat. Ulasan singkat tentang novel ini ditulis oleh Tri Subhi A dalam majalah Sabili No. 19 TH. XVI 9 APRIL 2009/13 RABIUL AKHIR 1430. Tri Subhi A menuliskan:

”Hal pertama yang sangat berpengaruh dalam perpolitikan kita ialah kekuatan yang sering dinamakan Mesin Poltik. Mesin Politik ini yang biasanya mempertahankan keterbelakangan rakyat untuk kepentingan kelompoknya. Mereka tak segan melakukan penipuan, manipulasi dan cara-cara curang guna meraih kemenangan dalam pemilihan. Kuntowijoyo menggambarkan tingkah mesin politik ini sebagai berikut:
Mesin politik menghendaki agar jarak waktu antara pengumuman dan waktu pelaksanaan pemilihan singkat saja, umpamanya tiga hari, sehingga hanya orang-orang pilihan Mesin Politik yang akan menang, sebab merekalah yang paling siap, paling terorganisir, orang-orangnya pasti lulus ujian, dan mesin politik itu weruh sak durunge winarah (tahu sebelum kejadian) karena ada rekayasa. Menang sebelum pemilihan (hlm 91)”.
Meski latar pada novel ini zaman Orde Baru, cerita yang disajikan masih tetap relevan untuk dibahas.

Di sisi lain, survei yang diselenggarakan oleh Indo Barometer awal Desember 2008, bahwa publik Indonesia tidak silau dengan asas sebuah partai, apakah itu berasaskan Agama atau sekuler. Publik lebih menakar kinerja sebuah partai politik dalam memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan rakyat sebagai indikator kredibilitas serta kelayakan partai untuk didukung. Namun, apalah artinya sebuah hasil survei jika pragmatisme brutal matrealistis telah berkuasa dalam diri. Beberapa politikus ternama, terindikasi tidak setia dengan partai karena mengetahui kekuatan partai lain yang dipinangnya lebih ”menjanjikan”. Budiman Sudjatmiko dengan keberaniannya melawan rezim Orde Baru saat itu pernah ditangkap karena dituding sebagai aktor kerusuhan 27 Juli didepan gedung DPP PDI. Sebelum menjadi Ketua Relawan Perjuangan Demokrasi (RPD), ia menjadi ketua umum Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kemudian bergabung di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Padahal, kini PDIP tengah membina hubungan mesra dengan Partai Golkar yang saat reformasi dijadikan musuh bersama para mahasiswa dan pemuda, tak terkecuali Budiman Sudjatmiko.
Lain lagi cerita tentang Pius Lustrilanang, salah satu aktivis yang pernah manjadi korban penculikan pada 4 Februari 1997 oleh Tim Mawar dari pasukan elite KOPASSUS itu kini bergabung dengan Prabowo Subianto di Partai Gerindra. Banyak orang kaget, pasalnya Prabowo dianggap orang yang bertanggung jawab atas kasus tersebut. Bayak pihak mempertanyakan, mengapa korban penculikan kok memilih bergabung dengan ”penculiknya”.

Juga Dita Indah Sari—mantan Ketua Umum Papernas (Partai Pembebasan Nasional) kini berlabuh ke Partai Bintang Reformasi (PBR). Ade Daud Nasution, dari PBR loncat pagar ke Partai Amanat Nasional (PAN). Permadi dari PDIP bergabung dengan Gerindra.
Tingkah para elite politik negeri ini seperti dagelan (komedi-red) yang sama sekali tidak lucu. Perilaku mereka telah membuat bingung para pemilih yang hanya ditempatkan sebagai penonton. Pada saat kampanye berlangsung, rakyat dilibatkan. Namun saat pentas tersebut usai, rakyat tidak merasakan manfaat apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang Anda Baca Belum Seutuhnya Semperna