Kamis, 14 Mei 2009

Perubahan Bayang-Bayang atau Bayang-Bayang Perubahan?


Karya sastra memanglah lahir bukan dari kekosongan belaka. Ia ada diakibatkan proses yang pelik. Perenungan yang mendalam dari sastrawan akan dirinya terhadap realitas social, politik, budaya bahkan juga agama dan ideology. Hasilnyapun belum tentu berkualitas. Rangkaian kata dan pemilihan diksi sangat-sangat perlu diperhatikan. Gaya bahasa, inovasi, tema bahasan perlu dipikirkan matang-matang.


Sastra tidaklah jua dapat ada jika tidak ada bahasa. Meski banyak orang yang berdebat tentang asal-muasal bahasa dan hingga kini belum juga terdapat jawabannya, tetap saja harga mati bagi sastra adalah mediumnya bahasa. Bahasa sebagai medium, menjadikan sastra dipisahkan menjadi dua; sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan adalah bisanya berbentuk pepatah-petitih yang secara turun-temurun diwariskan kepada masyarakat tertentu. Sastra tulisan bisa juga disebut sebagai sastra modern. Disebut modern karena telah mengenal tulisan. Dan sekarang, sastra lisan juga tak bisa disebut sebagai sastra lisan lagi karena banyak ahli yang membahas sastra lisan dengan cara menulisnya. Bahkan sebagian besar sastra lisan juga telah punah. Semenjak manusia mengenal tulisan dan semenjak karya sastra di tulis, menjadi harga wajib bagi orang-orang yang bersastra untuk menulis.
Di Indonesia, masih hangat perbincangan tentang beberapa karya fiksi yang meledak seperti Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy dan Laskar Pelangi karya Andrea “Ikal” Hirata. Dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia, sepertinya tak jenuh untuk membicarakannya. Mungkin hanya kaum elite politik yang bingung untuk menduduki kursi jabatan dan meraup kekayaan sebanyak-banyaknyalah yang kemudian berhenti sejenak. Sibuk dengan pemilihan legislative dan Presiden.
Atmosfer meroketnya karya fiksi dibelahan nusantara, tak begitu berpengaruh terhadap Fakultas Sastra dan Budaya Unkhair Ternate. Hanya sekejap saja obrolan tentang kedua fiksi besar tersebut. Meski dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Sastra dan Budaya, di akhir periodenya ini akan merencanakan sebuah acara tentang bedah film Laskar Pelangi, sepertinya hal itu mustahil. Pengunduran diri Sekretaris Umum yang dijabat oleh Gazali Far-Far baru-baru ini membuat bahtera BEM menjadi berat sebelah. Keputusan Adam Muzakir untuk mundur karena mencalonkan diri sebagai calon anggota legislative untuk daerah Halmehera Timur, menjadikan bahtera lebih oleng dan berjalan tidak karuan dalam menyusuri gelombang lautan. Harus diakui bahwa perpecahan ini hanyalah menimbulkan kerugian. Meski kebijakan Presiden BEM Fakultas Sastra Dan Budaya yang kemudian mengambil tindakan dengan memasukkan Mujahid Taha (Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia ) sebagai pengganti Adam Muzakir di posisi Ketua Bidang Kemahasiswaan, terhitung terlambat. Nama Irwan Lahusen, Mantan Sekretaris Umum HMJ Sastra Indonesia juga kemudian dimasukkan sebagai pengganti Gazali Far-Far pada posisi Sekretaris Umum juga terhitung terlambat. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan tidak mampu menarik mahasiswa untuk mengikuti kegiatan tersebut. Meskipun sesungguhnya berguna, tapi banyak mahasiswa yang lebih tertarik dengan menulis absen pada daftar hadir kuliah, sekalipun dosen tidak hadir.
Tapi, meski banyak orang yang menilai kinerja BEM Sastra dan Budaya saat ini tidak berhasil, sesungguhnya salah. BEM Sastra dan Budaya melakukan sebuah gerakan revolusioner dengan menerbitkan sebuah bulletin yang bernama SALAWAKU. Kegiatan ini difokuskan agar mahasiswa sastra menulis dan siap menjadi seorang sastrawan yang handal. Lulusan fakultas Sastra dan Budaya tidak di product hanya untuk menjadi seorang pengemis kerja dan seorang sastrawan saja, tetapi lebih dari itu. Menjadi seorang ahli sastra.
Namun ironisnya memang budaya menulis di lingkungan fakultas sastra dan budaya tidak hidup. Usaha ini dilakukan oleh BEM Sastra dan Budaya karena prihatin terhadap kondisi mahasiswa yang hanya mau menulis jika mendapat tugas dari dosen dan menjawab soal yang diberikan. Niat baik ini belum jua mampu menyadarkan mahasiswa. Team redaksi dari SALAWAKU masih pontang-panting mencari tulisan. Sangat sedikit dan mungkin hanya beberapa mahasiswa saja yang sadar akan menulis. Selain itu, kegiatan yang dilakukan oleh BEM Sastra dan Budaya memang tidak lebih dari seremonial belaka. Masih banyak mahasiswa yang tidak bisa dan tidak mau membaca puisi. Masih banyak mahasiswa yang cuek dengan kegiatan yang sebenarnya berguna bagi mereka. Masih banyak mahasiswa yang acuh dan tak acuh terhadap organisasi.
Fakultas Sastra dan Budaya semakin miskin kreativitas. Komunitas teater yang “sekarat” (mati tidak mau, hidup tidak bisa). Budaya tradisional yang semakin “dihilangkan” di fakultas Sastra dan Budaya. Lebih mementingkan sosialisasi kampungan yang membohongi public dari pada memperbaiki kualitas. Dan aksi tak mau tahu dari pihak petinggi fakultas yang hingga kini tidak mampu menyediakan alat tradisional yang dibutuhkan untuk kegiatan mahasiswa. 8 tahun berdiri, tiga kali pindah gedung, namun hingga sekarang masalah air di kamar mandi atau wc pun tidak kelar-kelar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang Anda Baca Belum Seutuhnya Semperna