Bukanlah suatu hal yang mudah rupanya untuk merangkai kata yang sistematis dan dapat dipahami oleh orang banyak. Meskipun berjibun buku yang mengungkapkan tentang teori menulis, semuanya hanya akan menjadi sebuah pajangan kebanggaan palsu ketika semua teori itu tak bisa diaplikasikan. Semua dari buku yang menjelaskan teori bagaimana menulis dan menjadi penulis yang baik, intinya hanya satu: menulis, menulis, menulis dan menulis serta menulis!!!
Saya sendiri sebenarnya sangat dan sangat kesulitan untuk merangkai kata hingga menjadi kalimat yang runtut dan mudah dicerna bagi yang membaca. Bagiku, menulis adalah bakat. Namun, berbagai orang dan berbagai penulis yang menjelaskan tentang bagaimana menjadi penulis baik, menjawabnya; menulis bukanlah bakat, tapi semua orang bisa melakukan asalkan berusaha!
Penulis yang baik adalah pembaca yang baik sedangkan pembaca yang baik belum tentu penulis yang baik. Ungkapan ini bisa dipahami bahwa pelajaran menulis itu sesungguhnya pelajaran setingkat lebih tinggi dari membaca. Dari Taman Kanak-Kanak hingga menginjak Perguruan Tinggi, peserta didik tidak pernah bisa lari dari dua aktivitas ini. Aktivitas yang saling berjalin-erat antara satu sama lain ini membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Beratus bahkan beribu lembar halaman buku—yang dikatakan sebagai jendela dunia—harus peserta didik baca. Demi dua hal, yang pertama memang untuk mengetahui dunia dan yang kedua adalah untuk menuruti tugas akademik yang sifatnya “memaksa” karena jika tidak membaca maka nilai dalam hasil akhir yang biasanya tertera pada raport atau Kartu Hasil Studi akan buruk. Menulis pun demikian. Bagi para peserta didik, pelajaran menulis saat ini sepertinya hanya sebatas menulis jawaban dari soal-soal yang diterima dari guru atau dosen. Bukan untuk hal lain, yaitu “Berkarya”.
Semakin berkembangnya zaman, objek membaca kini tidak hanya buku, melainkan semua hal yang disitu terdapat tulisan. Tulisan yang menurut saya paling banyak dibaca adalah short message service atau sms. Keranjingan Hand Phone yang melanda masyarakat Indonesia kiranya tak bisa didustai. Lebih dari separuh uang saku yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya, kebanyakan dibelanjakan untuk satu hal, memberi makan HandPhone tersebut. Baik siswa ataupun mahasiswa, kiranya tidak keberatan jika mengeluarkan ratusan ribu perbulannya untuk membeli pulsa. Namun ketika untuk membeli buku yang harganya puluhan ribu saja, beratnya minta ampun.
Selain kurangnya masyarakat Indonesia dalam “melek” baca, Taufik Ismail mengatakan bahwa masyarakat Indonesia juga “pincang” dalam menulis. Meskipun dari sekian ratus juta penduduk Indonesia memiliki Handphone dan setiap hari menulis sms, masih jarang yang mau dan bisa menulis dalam sebuah konsep yang sistematis tentang disiplin ilmu yang ditekuni. Orientasi menuntut ilmu yang hanya berujung pada ijazah yang nantinya dijual kepada perusahaan untuk menawarkan diri menjadi budak, rupanya tak bisa dan tak mungkin hilang dari budaya generasi muda. Mental untuk menjadi majikan rupanya jarang dimiliki oleh generasi muda kita.
Hadirnya blog seperti memberikan percikan air yang menyejukkan dahaga. Kita di ajak untuk menulis dan menulis. Bahkan juga jutaan orang tidak hanya menulis saja, tetapi melakukan jual beli, mencari uang dan juga aksi kreatif lainnya. Kebiasaan para generasi muda kita yang berkunjung di warnet dan menyusuri situs porno sepertinya harus diperbaiki. Kampanye tentang blog harus di galakkan. Memang, untuk Indonesia bagian barat, blog sudah tak asing lagi, namun di Indonesia timur, blog seperti alien yang bentuknya pun tidak tahu bagaimana. Mereka hanya tahu mengetik kata kunci pada mesin pencari kemudian mencari artikel lalu meng-copynya. Kamudian di edit sedikit dan diprint. Selanjutnya dikumpulkan sebagai makalah “Made in Sendiri” kepada dosen atau guru. Meskipun sudah banyak generasi muda Indonesia timur yang tahu tentang blog, tapi lebih banyak yang tidak tahu. Bahkan setingkat email pun tidak tahu.
System informasi yang semakin maju, tetapi tidak diimbangi dengan akses yang luas menjadikan masyarakat Indonesia tidak seluruhnya dapat maju secara bersamaan. Terbatasnya layanan warnet di Indonesia timur, mahalnya tarif warnet, juga budaya membaca dan menulis yang belum membudaya, menjadikan Indonesia timur masih tertinggal jauh. Mungkin juga ini adalah salah satu masalah yang menghambat kemajuan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang Anda Baca Belum Seutuhnya Semperna