Selasa, 17 Maret 2009

MENGARANG

Hari ini mata pelajaran bahasa Indonesia. Ibu Vina dengan tampangnya yang galak, menyuruh kami mengarang sebuah cerita dan membacakannya di depan kelas. Guru yang disiplin itu sebenarnya paling baik, karena perrhatian kepada murid-muridnya. Tapi, banyak teman-teman nggak suka karena ibu Vina begitu disiplin. Aku paling benci kalau mendapat tugas mengarang. Dahiku selalu saja berkerut karena ku paksa untuk berpikir. Jemariku begitu kaku ketika memegang pensil. Lenganku gemetaran. Tak jarang keringat dingin pun keluar.
Indah telah berdiri didepan dan membacakan ceritanya. Tapi satu kata pun belum mampu kutulis. Kudengarkan Indah membacakan ceritanya. Begitu mengalir. Katanya, setiap pagi susu hangat selalu siap sebelum ia berangkat sekolah. Saat mau tidur, tak jarang nyanyian pengantar dan cerita anak-anak ia dengar dari mulut sang ibu. Ah, kenapa aku harus mendengar ceritanya. Aku harus konsentrasi dan menyelesaikan ceritaku. Namun, tak jua kata itu tertulis di lembar kertasku. Lenganku gemetar, jemariku kaku, keringat dingin keluar. Aku hanya mampu mendengar omelan ketika fajar baru tiba. Mencuci piring, membuat teh hangat, menyapu rumah dan teriakan yang menyuruhku untuk keluar dari rumah saat malam telah larut ketika seorang laki-laki bertandang ke gubukku yang berada dipinggiran rel. Suara cekikikan laki-laki dan perempuan terdengar dari balik bilik. Sesaat kemudian hanya terdengar rintihan.
Susi telah hampir selesai membaca ceritanya. Pengalaman pribadi, tapi tentang Ibu. Aku heran, kenapa semua yang telah maju kedepan, semua ceritanya tentang ibu?. Dia bilang, setiap pagi, tangan halus selalu membelai kepalanya yang mungil. Membangunkannya dan menyuruhnya mandi untuk bersegera ke sekolah. Baju seragam yang telah siap, sarapan dimeja yang tersedia dan tinggal menyantapnya juga selalu diantar kesekolah walaupun dengan jalan kaki. Konsentrasiku semakin pudar. Yang kuingat hanya teriakan saat selimut masih membungkusku, guyuran air saat aku tidak segera bangun dan hanya nasi sisa tadi malam yang menjadi sarapanku. Berangkat tergesa-gesa karena harus mencuci baju yang penuh dengan bau keringat seorang perempuan setengah baya yang tadi malam menyuruhku merapikan tempat tidurnya setelah seorang laki-laki berkumis tebal pergi dari rumah.
Bagian ujung baris mejaku telah ditunjuk untuk maju kedepan dan membacakan ceritanya. Kertasku masih kosong. Aku tak jua mampu menulis meski hanya sepatah kata. Yang kulihat di bayangan ingatanku, beberapa laki-laki yang berbeda seringkali datang kerumahku saat malam telah mulai larut. Dan kembali, suara tertawa laki-laki dan perempuan terdengar dari balik bilik. Sesaat kemudian terdiam dan hanya tinggal rintihan. Omelan itu kembali menyeruak memekakkan telinga ketika laki-laki yang tadi datang telah melangkahkan kaki untuk pergi dari gubukku. Terus saja tak berhenti omelan itu sebelum aku selesai merapikan tempat tidur yang lembab karena keringat. Dan kulihat perempuan itu didepan kaca merias diri. Dengan bedak, lipstik merah merona, serta bau parfum yang menyengat hingga membuatku ingin muntah karena baunya.
“….Isti….!” Ibu Guru Vina memanggilku. Aku terkejut. Lenganku masih jua tak berhenti gemetar. Jemariku tetap tegang dan kaku. Begitu sulit sekali untuk menggerakkan tanganku dan menorehkan satu kata saja. “Isti……..!” penggilan itu semakin melengking. Aku tahu aku akan dapat pukul karena aku tak membaca cerita karanganku. Tapi, memang aku tak pernah mampu mengarang. Sekali lagi ku paksa jemariku untuk menggerakkan pensil. Keringatku menetes dan dahiku berkerut karena harus berpikir kata yang pas yang harus kutulis. Kupaksa tanganku untuk bergerak. tercoret beberapa garis yang membentuk huruf. Hatiku berubah tak terarah. Tak menentu. Air mata jatuh membasahi kertas tulisku. Aku tersedu, berdiri dan langsung nyelonong keluar kelas dengan berlari sambil menahan tangis. Ingin rasanya ku berteriak, tapi aku tak mampu. Aku terus berlari tak tentu.
Dengan pelan, Ibu Guru Vina berjalan melangkah menuju meja siswinya. Dilihatnya sepotong kertas yang tertulis beberapa patah kata saja. Diambilnya kertas dan bibir manisnya bergumam membaca “ Ibuku seorang pelacur..!”


pernah dimuat dalam buletin kampus BOM Sastra Universitas Khairun Ternate

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang Anda Baca Belum Seutuhnya Semperna